Jumat, 13 November 2009

Bali Ganda Sari


PERTUNJUKAN LEGONG BEDULU
Untuk melestarian dan mengembangkan seni serta budaya Bali yang Adi Luhung, melalui berbagai kegiatan berkesenian dan pendidikan seni, kami Sanggar Bali Ganda Sari Akan mementaskan( pertunjukan Legong Style Bedulu ) di ART CENTER pada tanggal 24 Juni 2010 dalam rangka PESTA KESENIAN BALI Ke–32 Tahun 2010

Adapun jenis pertunjukan yang akan kami bawakan :
  • TABUH DANG
Merupakan tabuh klasik pelegongan yang direkontruksi tahun 1995 dalam rangka Festival Legong yang diselenggarakan oleh yayasan Walter Spies ( Walter Spies Festival ), gending ini direkontruksi atas arahan seniman tabuh Bedulu oleh I Gusti Putu Mandor (Alm).
  • BAPANG GEDE
Tari ini merupakan bagian dari struktur tari Legong Lasem.
  • LEGONG KUPU-KUPU TARUM
Tari Legong ini hanya masih terdapat di desa Bedulu. Dimana pada tahun 1986 tari ini mulai dihidupkan lagi yang dilatih langsung oleh pakar tari Legong Bedulu yaitu ; Jro Made Pukel (Alm) dan Ni Ciglek (Alm), sedangkan tabuhnya dilatih oleh I Gusti Putu Mandor (Alm). Tari ini sudah sering dipentaskan termasuk di Walter Spies Festival, tari ini merupakan abstraksi dari sepasang kupu-kupu.
  • TABUH SEKAR GENDOT
Merupakan tabuh klasik pelegongan, yang hampir dimiliki oleh semua sekhe pelegongan yang ada dibali termasuk juga sekhe legong yang ada di Bedulu.
  • LEGONG SMARANDANA
Siwa sedang melakukan yoga dengan tekun di gunung Mahameru. Ia acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang menarik atau memikat panca indra, bahkan terhadap kecantikan permaisurinya Dewi Uma. Pada saat itu surga sedang terancam oleh Nilaludraka, seorang raksasa yang menjadi raja di Senapura. Para dewa tidak berdaya menghadapinya, bahkan Brahma dan Wisnu merasa cemas seolah-olah kehilangan kekuasaannya. Hanya Siwa dapat menyelamatkan mereka, tapi Siwa sedang melakukan yoga dan tidak ada yang berani mengganggunya. Wrhaspati sebagai penasehat para dewa, mengusulkan agar Kama mengobarkan hati Siwa dengan rasa Asmara terhadap Uma.
Kama menceritakan rencana para dewa kepada Ratih istrinya. Ratih sudah merasakan firasat-firasat yang tidak baik dan tidak percaya dengan kejujuran Indra dan para dewa, tapi Kama berusaha menghiburnya.
Kama mendekati Siwa yang sedang beryoga. Dengan berbagai senjata yang diarahkan kepada Siwa, Kama berusaha membangunkan Siwa dari semadinya, tapi Siwa tetap tidak terganggu. Akhirnya Kama menggunakan roh musim semi dan senjata Pancawisaya yang mampu menyentuh dan mengobarkan panca indra, panah ini menembus hati siwa. Siwa terbangun, sesaat sebelumnya teringat akan kecantikan Uma. Melihat Kama berdiri didepannya Siwa marah dan dengan ujud triwikrama membakar Kama hingga musnah.
Ratih sangat sedih atas terbakarnya Kama. Ketika ia melihat api yang membakar Kama masih berkobar, ia melemparkan dirinya kedalam api hingga musnah, sebagai kesetiaannya kepada Kama.
Atas permohonan para dewa Siwa setuju menghidupkan kembali Kama dan Ratih, tapi dalam bentuk yang tersembunyi dan lepas dari sifat kebendaan (suksma).
  • LEGONG LASEM
Tari ini merupakan tari klasik pelegongan yang menceritakan tentang percintaan Prabu Lasem dengan Diah Rangke Sari.
Sang Ayu Ketut Muklen Takut Legong Ala Bedulu bakal Punah

Inilah sosok penari legong satu-satunya yang masih kukuh mempertahankan gaya tradisional Bedulu. Dalam usia 81 tahun Sang Ayu Ketut Muklen masih menggetarkan ketika ia menggerakkan tangan dan tubuh untuk menarikan cuplikan legong kraton. Keriput kulitnya tak menghilangkan pesona yang terpancar dari ekspresi wajah dan tubuhnya.

Sang Ayu atau Sak Niang. Begitu biasanya orang-orang terdekat memanggilnya. Ia mengaku sering gelisah, khawatir legong yang ditekuninya bakal punah, sebab hingga kini ia belum tergantikan.
Sang Ayu memang total menyerahkan hidupnya untuk tari. Menurutnya, gerakan-gerakan tari legong gaya Bedulu tidak rumit. “Tapi penarinya harus memiliki kedalaman rasa. Mungkin itu yang membuatnya tidak mudah,” ujarnya. Di senja usianya, Sang Ayu hanya berharap namanya tak dilupakan orang dan tari legong tidak punah. Untuk itu ia membuka lebar pintu rumahnya bagi siapa saja yang ingin belajar padanya. Sejak dulu hingga puluhan tahun pintu itu tetap begitu, tetap terbuka.
Pertama kali belajar kesenian di banjar di desanya ketika ia berusia 8 tahun. “Diawali belajar arja, saya sebagai Limbur-nya. Guru yang mengajar dari Pejeng, Gung De Grudung (alm). Setelah belajar 6 bulan, sudah kebagian ngelawang (main arja berkeliling ketika hari raya Galungan),” tutur Sang Ayu. Semasa belajar menari itu semua biaya ditanggung banjar. Ia tinggal berlatih. “Tak lama sesudah itu banjar berkeinginan membentuk legong. Di usia 9 tahun saya dengan dua teman lainnya, Byang Ruta (sekarang sudah tidak menari lagi) dan Sak Ayu Kejur (alm.) dipilih sebagai penari legong. Saya Legong Lasem, jadi lakinya. Guru legongnya berasal dari Bedulu Delodan, masih muda, namanya Nyoman Camplung (alm),” kenang perempuan yang telah bercucu-cicit itu.
Ia mengaku mulai berlatih sejak jam 8 pagi. Siang, jam 12, istirahat makan. Jam 1 mulai lagi sampai jam 5 sore. “Rasanya lebih sibuk dari mereka yang sekolah tari,” ujar Sang Ayu. Sore, ketika gurunya pulang ke Bedulu, ia dan tiga temannya tadi ikut sang guru, berjalan kaki sejauh kira-kira 5 km. Di rumah sang guru, biasanya ia dan teman-temannya dipijat, diinjak-injak, di-apun (diluluri minyak), diurut. Tak sekali dua kali tubuh murid-murid muda berlatih dengan membalikkan tubuh, sampai-sampai rambut menyapu lantai. Olah tubuh seperti itu masih diikuti dengan gerakan-gerakan seperti kayang. Pokoknya serem. Tujuannya jelas, agar tubuh menjadi lemas. Maklum, dalam tari legong playon kraton memang ada gerakan seperti orang kayang. Perlu tubuh yang sangat lentur untuk memainkannya. “Guru zaman dulu memang galak-galak,” tutur Sang Ayu sembari ketawa kecil. Bayangkan saja, saat diinjak-injak oleh gurunya, Sang Ayu dan kawan-kawan merasakan sakit tak terperi. Ingin menangis tapi takut. “Kalau ketahuan menangis, malah dipukul,” ujarnya. Setiap hari “siksaan” seperti itu dirasakannya. “Kayaknya jauh sekali perbedaan cara mengajar dulu dengan sekarang. Kalau sekarang, disentuh sedikit saja anak-anak sudah ngambul,” ungkap Sang Ayu.
Untuk belajar tari legong playon diperlukan waktu 6 bulan dengan disiplin yang sangat ketat. Ada tujuh “nomor” dalam tari itu, yakni Condong, Bapang Kecil, Bapang Besar, Pengadeg, Pengawak, Pengecet, dan Penutup. Setiap nomor memiliki gerakan yang berbeda. Gending tari juga berganti terus. “Saya memang khusus latihan legong lengkap setiap hari sampai fasih betul,” ujar Sang Ayu. — Diambil dari situs TOKOH

Sejarah Legong

Sejarah Legong : Sampai saat ini kebanyakkan orang tidak mengerti dan mengenal arti Legong yang sesungguhnya sebab banyak orang berpikir bahwa Legong itu hanya sebuah tarian biasa saja. Sehingga suatu saat lahirlah suatu tarian baru setelah jaman Legong yang dinamakan tarian Kebyar nah tarian inilah salah satu penyebabnya tersebut, sehingga suatu saat pelan tapi pasti Legong ini mulai diminati kembali seiring dengan tumbuhnya pariwisata dan keingintahuan sejarah dari tarian Bali.Tapi satu hal yang tidak bisa ditinggalkan yaitu bahwa tarian Legong ini memiliki keindahaan dan kemewahaan yang sangat sulit dibandingkan dengan tarian apapun kalo bisa dikatakan tarian Legong inilah merupakan inti dari semua tarian di Bali. Tarian ini aslinya dimainkan dengan beberapa alat musik tradisional, sedangkan untuk penarinya Legong tersebut dipilih semenjak masih kecil dan pembawa tarian ini harus dibawah umur yang belum memasuki batasan puberitas, sedangkan untuk tempatnya biasanya diadakan di puri (istana) dengan halaman yang terbuka dan dibawah sinar bulan dimalam hari yang menembus rindangnya pohon.Sampai saat ini tarian Legong tersebut tercatat telah memiliki 18 jenis tarian diantaranya: Legong Lasem, Kupu-kupu Tarum, Jobog, Kuntul, Legod bawa, Smaradhana, Andir, Condong dan lain-lain.
Selanjutnya sejarah dari Legong berawal mula pada abad ke 19 dimana Pangeran dari Sukowati pada saat itu sedang jatuh sakit dengan kondisi koma melihat dua gadis perawan menari dengan gemulai dan sangat menakjubkan bersamaan dengan itu juga dia mendengar suara musik yang indah. Setelah ia sembuh dari sakitnya maka ia mengumpulkan para seniman untuk menuangkan semuanya apa yang ia lihat dan dengar dari imajinasinya untuk diwujudkan, berawal dari situlah lahirnya nama tarian Legong
disadur dari :
http://www.pialegong.com/

LEGONG

In Bali, not every one have same understanding of the word "Legong". Until today some Balinese think that legong is any non-dramatic dances performed by woman. One of the cause is the popularity of kebyar dances that become so popular in Bali after legong era. Instead, the word Legong Kraton, means 'legong of the palace', is often used by the Balinese referring to all repertoire of legong.
Despite the fate of legong that fade in popularity many decades ago, after it peaks in the beginning of this century, recently, slowly but quite encouragingly, legong regain it's popularity and dignity once more. This is partly caused by tourism industry and also by the work of individual, organization, or local government, who have special interest to the renaissance of this type of dance-drama.
But one thing is certain, the beauty and charm of this delicate and feminine dance is indisputable. It's not easy to find any dance in Bali and in other places that comparable to the grace and beauty of the legong. Beside the dance it self, many of musical compositions that accompanying it is among the sweetest and most beautiful on the island. Original music for legong accompaniment is gamelan pelegongan, a kind of percussion instruments with bronze keys, cymbals, and drums, although it can also accompanied by gamelan gong kebyar, the modern gamelan of Bali. The dancers start dancing for public at a very early age. Traditionally they are selected among little girls in the village for their suppleness and beauty. They will go on dancing legong until the age of puberty, before they start dancing other type dances. Usually excellent legong dancers are respected as master dancers at older age and some of them also become respected dancing teachers.
'Stage' of the legong, as for many other dances and dramas in Bali, is called kalangan in Balinese. This is an open space with a kind of horse shoe half circle created by the spectators. With a big tree, usually an enormous banyan tree, overshadows the stage, and an elevated beautiful carved candi bentar gate as the back drop, from where the dancers emerge, the stage is complete. Watching legong performance in such a place under a moonlight at night is quite an experience, for some, this also means a revelation...

Up to now, at least eighteen forms of legong had been recorded. Some of them successfully revived only recently. And the others are quite popular that almost in par with kebyar dance. The legong are, lasem, kupu-kupu tarum, jobog, kuntul, legod bawa, smaradhana, andir, condong, and many others.
Some villages in Central and Southern Bali are considered home of the legong. They are, Peliatan, Ubud, Saba, Bedulu, Sukawati in Gianyar area, Binoh in Badung area, Kerambitan in Tabanan area, among others. These villages posses long legong traditions, and most of them still own high quality legong troupes today.
Some of Balinese dances are now labeled as 'classic'. This classic label only presented to an arts form that posses exceptional quality and endurance to survive for many generations, and legong is considered as one of them.
Meanwhile, story of the birth of the legong is no less intriguing than the legong it self. In early nineteenth century, a prince in Sukawati was in a coma condition caused by his ill. In his coma he saw two beautiful nymphs dancing a feminine and delicate dance. Not only he saw the dance, he heard the sound of music that accompanying it as well. Struck by the mysterious and beautiful sight and sound, later after his health revival, together with artists of the village, he transformed his imagination into reality. So, born the legong, another performing arts form, as a gentle touch of the arts to the already arts fertile island.
At first legong, as well as other dances at the time, allows only male dancers. Many decades later, female dancers take place, brought legong dance to the new height as we see today.